Senja di Pantai Shichirigahama
Apa itu Enoshima? Awalnya, saya juga tidak paham. Enoshima tidak seperti Osaka dan Kanazawa, tujuan wisata yang sudah terkenal di kalangan orang Indonesia. Kami ke Enoshima pun sebenarnya sebuah ‘kecelakaan’: kami membatalkan kunjungan ke Osaka, karena khawatir terlalu penuh menjelang penutupan World Expo Osaka 2025. Jadi, kami memiliki jeda 3 hari 2 malam antara Yokohama dan Tokyo, dengan syarat hotelnya jangan terlalu mahal. Saya urutkan jalur kereta JR ke arah timur dari Yokohama dan… saya melihat Fujisawa!
Fujisawa adalah titik awal jalur kereta Enoden Line, yang membawa penumpang sampai ke Enoshima, Hase, dan Kamakura --lokasi patung Buddha besar di Kotoku-in. Kereta ini konon adalah “kereta nostalgia” yang populer untuk turis menuju Kamakura. Ketika mau berangkat, kami sempat bingung: tidak ada peron untuk Enoden Line di stasiun JR Fujisawa. Ternyata, karena termasuk “nostalgia”, Enoden Line punya stasiun sendiri. Hanya dengan 5 menit berjalan kaki, akhirnya kami menemukan bangunan mal yang ternyata di lantai duanya menjadi stasiun awal Enoden Line di Fujisawa. Kami pun membeli tiket “Noriurikun” --karcis bebas naik dan turun seharian di line ini-- dengan harga 800 yen dewasa dan 400 yen anak-anak. Menarik!
Enoden Line merupakan jalur kereta listrik yang cantik. Stasiunnya kecil, dan santai --berbeda dengan Shinjuku yang serba terburu-buru. Bentuk keretanya pun unik, selalu menjadi buruan para pehobi fotografi. Ketika masuk, kok saya merasa familiar dengan interiornya? Ya, karena kereta “nostalgia” ini masih dipakai oleh Commuter Line Maja-Serpong-Tanah Abang! Hanya memang di sini tidak ada penumpang orang Baduy yang jualan madu, hehe. Kereta ini membawa penumpang melalui jalur Enoshima-Hera-Kamakura, berbentuk huruf U di pesisir selatan sehingga sebagian perjalanannya menyusuri bibir pantai. Kereta ini meliuk pelan melalui permukiman padat, lalu pada suatu saat membelok ke kiri di sebuah muara sungai, dan kemudian menampakkan warna biru Samudera Pasifik di sisi kanan. Duduklah di sisi kiri kereta jika ingin maksimal menikmati pemandangan ini! Tak terasa, kami sudah tiba di tujuan pertama: Stasiun Enoshima!
Kereta Enoshima
Enoshima adalah sebuah pulau kecil yang dihubungkan dengan jembatan ke pulau utamanya, mirip dengan Pulau Serangan di Bali. Selepas Stasiun Enoshima, kami berjalan melalui jalan khusus pedestrian yang kanan-kirinya penuh kios-kios kecil yang menarik, menjual kudapan, suvenir, sampai es krim. Di sana-sini nampak warna-warna kuning-biru-merah muda khas Hawaii, sebuah pulau pantai kesukaan warga Jepang. Kami berjalan melalui sebuah terowongan kecil, lalu mulai meniti jembatan yang membawa kami ke Pulau Enoshima. Pemandangan cantik sekali! Langit biru cerah, laut biru di sekeliling kami, burung camar terbang melayang, bersahutan di balik awan. Sayangnya, Gunung Fuji sedang tertutup awan! Kami pun menikmati sepoi angin Samudera Pasifik sampai tiba di Enoshima. Dan kami disambut oleh… deretan warung dan restoran!
Jembatan menuju Pulau Enoshima
Toko-toko sepanjang jalan menuju Enoshima
Tentu saja, Enoshima terkenal dengan hasil lautnya. Khas di sini adalah shirasu, ikan teri yang bisa disantap mentah atau dikukus sehingga berwarna putih. Gurih dan sedap, teksturnya mirip cendol tapi gurih. Kami juga mencicipi dango, sebuah jajanan dari tepung ketan mirip mochi, yang disajikan dengan olesan ogura atau saus kacang merah manis. Hotate alias scallop yang dipanggang dengan mentega, rasanya sedap dan sangat fresh, tidak boleh dilewatkan. Kemudian cumi bakarnya juga boleh tahan, tidak terlalu matang sehingga teksturnya lembut sempurna. Mak nyus!
Shirasu, ikan teri Jepang
Dango
Scallop dan cumi bakar
Jalanan sempit penuh warung di kiri dan kanan membawa kami ke sebuah gapura merah yang menandakan tempat suci --inilah titik awal Okutsumiya Shrine, sebuah kuil di tengah Pulau Enoshima. Di sini pengunjung punya dua pilihan: menaiki tangga atau membayar tiket untuk naik eskalator. Kami memilih eskalator, dan setelah beberapa menit melalui eskalator indah dengan video mengenai biota laut, kami pun sampai di Okutsumiya Shrine.
Okutsumiya Shrine di Enoshima
Kuil ini terletak di sebuah taman yang asri di bukit menjulang yang menjadi penanda Pulau Enoshima. Suasana langsung berubah dari riuh-rendah menjadi kontemplatif, dengan suara mantra doa yang diuncarkan berulang-ulang. Bangunan kuil nampak sangat khas dan cocok untuk swafoto, termasuk tiang lampu lentera berwarna merah yang khas Jepang. Di satu sisi taman ada panggung dengan pemandangan terbuka ke arah laut lepas dan pulau utama. Wow, indah sekali! Ternyata warung-warung yang tadi kami lewati sudah terlihat kecil seperti rumah semut. Warung-warung Enoshima ini rupanya menginspirasi salah satu film Studio Ghibli: Spirited Away. Menarik!
Salah satu bangunan tua di Okutsumiya Shrine
Dari Enoshima kami lanjut ke Kamakura. Kami mengira patung Buddha Kamakura ada di sini, ternyata bukan! Patung ini berada di kuil bernama Kotoku-in yang ada di stasiun Hera, 2 stasiun sebelum Kamakura. Meski begitu, kami tetap ke Kamakura karena tempat ini cantik sekali! Sebagai tujuan akhir Enoden Line, semua turis turun di sini, lalu berjalan menikmati Komachi Street, sebuah shopping street khas Jepang. Jalanan lagi-lagi dipenuhi warung, restoran, dan kios suvenir yang sangat menggoda iman. Kami sempat mampir ke “3D Museum” yang lumayan menghibur untuk anak-anak. Tetapi untuk yang lebih dewasa, bisa memilih museum lain yang lebih serius!
3D Museum
“Wah, sudah jam 4 sore!” kata istri saya mengingatkan. Astaga, padahal tiket patung Buddha Kotoku-in hanya buka sampai jam 5 sore! Kami pun buru-buru berjalan kembali ke Stasiun Kamakura dan naik Enoden Line 2 ke Hera. Sambil berjalan, kami melihat rombongan turis ke arah berlawanan, kembali ke stasiun. Waduh, keburu tutup nih, pikir saya. Kami bergegas melalui jalan melewati toko-toko suvenir yang sudah tutup, sampai ke ujung jalan sebelah kanan, dengan pepohonan nampak di belakangnya. Inilah pintu masuk Kotoku-in! “Hurry hurry close!!” kata petugas sambil mengangkat papan “pintu masuk” karena sudah tutup! Untung, kami sempat masuk. Nampak pintu dijaga oleh dua patung Jizo berwarna merah di kiri dan kanan gerbang, lalu kami seolah masuk ke dunia lain --dunia senyap, asri penuh pepohonan. Selamat datang di Kotoku-in!
Pintu masuk Kotoku-in
Patung Buddha di Kotoku-in ternyata sangat dekat jaraknya dari pintu masuk. Hanya beberapa langkah saja, kita disambut sebuah pelataran asri dengan Arca Buddha raksasa dari perunggu berwarna hijau. Di sisi kanan ada sepasang sandal raksasa dengan tulisan “The Buddha’s Sandals”, cukup menarik, mengingatkan saya pada Ngong Ping di Hong Kong. Saya pikir arca ini relatif baru --saya kaget ketika membaca bahwa patung ini didirikan pada abad ke-15, zaman yang sama seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho! Yang di kita nampaknya sangat asing dan purba, di Jepang masih sama, karena memang kontinuitas budaya yang ada di sana. Kami berfoto sampai puas di Kotoku-in, kemudian keluar dari kompleks disertai salam “arigato gozaimas” dari petugas yang mau pulang.
Patung Buddha di Kotoku-in
Tujuan terakhir: pantai! Seperti apa sih pantai di Jepang? Kami menaiki Enoden Line lagi yang rupanya semakin sore semakin padat, menuju Stasiun Shichirigahama yang katanya ada pantai. Turun dari stasiun, kami menyusuri sebuah muara sungai, lalu menyeberang jalan dan turun ke pantai. Inilah Pantai Shichirigahama! Pasirnya lembut dan hitam, pantainya bersih, tidak ada sound horeg atau deretan kios jualan kelapa seperti di Cilacap. Di cakrawala, nampak Pulau Enoshima berdiri tegak dengan bentuknya yang khas, nampak kontras dengan kilau lampu mobil dari jalanan di sepanjang pantai. Anak-anak langsung bermain pasir, meskipun tidak ada kran air untuk mencuci tangan. Kami pun menikmati senja di Enoshima, senja Samudera Pasifik, dengan semburat ungu di langit yang terbentang indah bagaikan lukisan.
Suasana senja di Pantai Shichirigahama
Masih banyak yang belum sempat kami lihat di Enoden Line: wisata gua Pulau Enoshima, kuil Hasedera, dan banyak lagi. Pastikan Anda punya cukup waktu untuk mengeksplorasi semuanya. Kami akan kembali!
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Kang Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, Nasgor, Makanan Sejuta Mamat dan bersama Bondan Winarno (alm) dan Lidia Tanod menulis buku serial 100 Mak Nyus. Kang Harnaz juga aktif di Gerakan Fermenusa, yang bertujuan memajukan produk fermentasi Nusantara. Mengelola channel Youtube "Indonerdsia" dan "Fermentasi Nusantara".