CIU LATER, PURWOKERTO! (2): CAHAYA MAS DAN ORASI BUDAYA DI WLAHAR 2025-06-13 21:05

Mie Ayam andalan RM Cahaya Mas Purwokerto

 

Tim Jalansutra yang ikut Tur Fermenusa rupanya "ogah rugi": bukannya istirahat, kami malah segera berkumpul di lobby Hotel Aston Purwokerto untuk curi start santap malam di satu lokasi penting: RM Cahaya Mas Purwokerto. Untuk mencapai rumah makan ini ternyata bisa jalan kaki dari Aston! Meskipun plangnya sudah besar, tapi interior rumah makan ini masih sama seperti waktu saya bersama orangtua makan di sini ketika menghampiri kota kelahiran ibu saya ini. Plafon kayu berbingkai, plastik penghalang sisa masa Kopid, serta deretan kalender dan iklan di dinding menunjukkan bahwa resto ini sudah viral jauh sebelum ada Tiktok. Kami memesan menu heritage: babi cah sayur asin, nasi goreng ham, bestik sapi, dan… mie ayam. Hah, mie ayam?  

 

Ya, Cahaya Mas memang terkenal mie ayamnya, walaupun mungkin ini mie ayam "gagrak Widuran" alias menggunakan minyak babi hehe. RM Cahaya Mas adalah rumah makan Chinese jadul Purwokerto, dan menunya memang klasik. Mie ayam yang disebut memang enak, dengan mie halus dan aroma sedap –bisa request untuk memastikan tidak menggunakan minyak babi. Hidangan lainnya juga patoet dipoedjiken –salah satunya babi cah sayur asin, menu yang sudah jarang di Jakarta. Dagingnya empuk, dengan sayur asin yang sangat tajam rasanya. Kemudian bestik sapi adalah pengaruh Belanda yang kuat, mengingatkan bahwa wilayah ini dulu langsung di bawah Belanda dan bukan wilayah kesultanan. Nasi goreng ham adalah akulturasi budaya Tionghoa dan Belanda yang juga tidak mengecewakan rasanya. Semuanya ludes dalam sekejap!

 

Babi Cah Sayur Asin RM Cahaya Mas Purwokerto

 

Nasi Goreng Ham RM Cahaya Mas Purwokerto

 

Malamnya, sekitar jam 7, rombongan kembali ke Desa Wlahar untuk bersantap malam bersama warga desa. Santap malam yang dikelola desa dilakukan di beranda rumah Pak Sugiarto selaku perwakilan Pajatra, paguyuban warga setempat. Dalam kesempatan ini Gerakan Fermentasi Nusantara diterima oleh Pak Narsim/Pak Oho sebagai Kepala Desa Wlahar dan Pak Deskart Sotyo Jatmiko, SH, MIP sebagai pembina budaya setempat. Gerakan Fermentasi Nusantara kemudian memberikan penghargaan Punggawa Budaya Nusantara kepada Pak Deskart dan Desa Wlahar atas usahanya melestarikan budaya fermentasi dan destilasi di sini.

 

Kiri ke kanan: Nathan Santoso (Punggawa Budaya Nusantara), Bambang Britono (Fermenusa), dan Deskart Sotyo Jatmiko dari penggerak budaya Desa Wlahar

 

Pak Narsim sebagai Kepala Desa Wlahar dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan budaya fermentasi dan destilasi adalah salah satu pilar ekonomi desa yang penting untuk kesejahteraan warga. Itulah sebabnya, tradisi turun-temurun ini terus lestari dan beliau berharap di masa depan agar ada perhatian lebih dari pemerintah untuk industri UMKM desa. Kemudian, Pak Deskart Jatmiko menyusul dengan sambutannya membagi pengalaman membina budaya di berbagai daerah selama berpuluh tahun.

 

Sambutan Bapak Narsim selaku Kepala Desa Wlahar

 

"Saya memulai dengan membina wilayah yang terkenal dengan kawasan asusila…" kata Pak Deskart. Dari situ, mengalirlah cerita mengenai preman, pelacuran, ketidakadilan, dan beking-beking ilegal, sampai perjalanan hidup membawa beliau ke Desa Wlahar –wilayah yang juga "abu-abu". Namanya budaya selalu soal manusia, dan manusia selalu ada sisi yang abu-abu! Sampai sekarang, bahkan setelah pensiun, beliau masih setia mengunjungi Gunung Slamet dan bercengkrama dengan para pembudaya di sana. "Budaya sudah menjadi darah daging saya…" kata beliau dengan mata berkaca-kaca. Saya pun ikut terharu dan berpikir –inilah "orasi kebudayaan" yang sesungguhnya! Bukan dari pejabat yang ngomong panjang lebar soal teori budaya yang berbunga-bunga, tapi dari pelaku budaya yang sehari-hari tidak merasa terlalu suci untuk berkubang dalam lumpur manusia dan segala kemanusiaannya. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan!

 

Setelah acara seremonial selesai, waktunya santap malam! Kami melihat di meja saji panjang sudah ada jajaran hidangan yang sederhana tapi menarik! Ada gorengan singkong, bakwan sayur dan tahu isi. Kemudian, ada tampah berisi bungkusan nasi dari daun jati. Lho, ini ‘kan bukan Cirebon? Rupanya, tradisi di sini masih mirip. Namun, nasinya dibungkus lagi dengan daun pisang, dengan lauk unik: sekilas seperti sambal goreng tempe tetapi ini bukan tempe, melainkan kecambah yang digoreng kering dan dibumbui. Menarik! Teksturnya berkeletuk seperti kacang tetapi gurih-manis, cocok untuk nasi. Kemudian, ada lagi tempe rebus dengan bumbu mirip tempe lodeh, serta tumisan bawang kecil yang biasa ditemui di kuliner Batak.

 

Sajian Desa Wlahar

 

Nasi bungkus dan gecok ayam

 

Lauk utamanya mana? Ada sebuah panci besar dari tanah liat di tengah meja –yang dari penampakannya saja sudah ancient banget. Rupanya isinya unik: namanya gecok, hidangan khas Wlahar. "Ini seperti mangut tetapi menggunakan santan dingin," kata Pak Jatmiko menjelaskan. Ayamnya ayam kampung panggang arang, kecoklatan dengan aroma asap yang khas. Kuahnya dari santan dingin –ya, dingin! Ini bahasa kerennya "cold-pressed santan", tidak berminyak sama sekali. Meskipun dingin tetapi tetap gurih dengan tendangan pedas dari cabai bubuk. Aih, sedap sekali dan cocok untuk disantap di malam desa yang agak panas tanpa AC, ditambah lagi hawa panas karena ciu! Nasi yang tadinya kelihatan banyak, tiba-tiba habis dan bahkan kurang, setelah disiram kuah gecok dan dibubuhi daging ayam. Di sini, peranan panci tanah liat penting untuk menjaga suhu agar santan tetap dingin sehingga tidak basi. Sebuah teknologi desa yang cocok untuk santap malam di desa. Menarik!

 

Gecok ayam

 

Wadah gecok ayam

 

Tidak mau kalah melihat peragaan teknologi desa, Gorys Warung dari Jakarta hadir membawa teknologi kota: sebuah kotak berpendingin untuk membuat cocktail dari ciu. Dengan menggunakan bahan-bahan lokal seperti jeruk nipis, manisan mangga, dan bahkan jamu untuk menolak angin, bartender menghadirkan berbagai minuman baru bernuansa lokal yang dicicipi oleh peserta. Giliran Pak Sugianto dan Pak Deskart yang merem-melek, mencicipi sesuatu yang belum pernah ada di desa. "Ciu kok bisa semriwing ya rasanya..." kata Pak Sugiarto sambil tersenyum.

 

Gorys Warung meramu cocktail

 

Malam itu, bulan bersinar di atas Desa Wlahar. Langit gelap menaungi kami, dan di sekitar kami rumah-rumah sederhana di desa nampak temaram diterangi lampu-lampu seadanya. Tapi, di halaman rumah Pak Sugiarto, ada keriaan yang meriah dan tulus. Tidak perlu kilatan lampu disko, bahkan tanpa musik, rombongan berbaur dengan warga, bertukar cerita, dan kemudian berbagi tawa, dengan gorengan dan ciu sampai larut malam. Buat saya, ini pesta desa yang sudah diimpikan sejak lama: suasana akrab di desa, bersama mengangkat gelas menikmati air kedamaian. Bulan dan bintang, semuanya teman! Warna-warni, indah dan alami. Tidak semua yang abu-abu itu buruk, bukan?

 

Suasana akrab di desa

 

Bersambung

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment