Suasana di dalam gedung opera
In diesen heil’gen Mauern
Kennt man die Rache nicht
Und ist ein Mensch gefallen
Führt Liebe ihn zur Pflicht
Within these hallowed walls
One knows not revenge
And should a person have fallen
Love will guide him to duty
“In diesen heil’gen Hallen”, Act II, Scene III, Die Zauberflöte
—
Suasana sore hari mulai mendung. Cuaca agak dingin di Wina, Austria, ketika kami melangkah keluar dari pintu trem atau strassenbahn. Saya melangkah menuju sebuah organized chaos: jalur trem bersilangan dengan jalan raya dan jalur pedestrian, semuanya serba cepat namun tidak bertabrakan atau bersinggungan. Patuh, rapi, lancar --bagaikan sebuah simfoni. Cocok, kalau pakai analogi simfoni. Tempat ini namanya Herbert von Karajan Platz --nama konduktor terkenal Wiener Philharmoniker, pusat kota Wina. Dan tujuan kami malam itu juga menarik: menonton opera “Die Zauberflöte” alias “The Magic Flute”, karya W.A. Mozart tahun 1791.
Trem di Kota Wina
Herbert von Karajan Platz
Nonton opera kali ini membuat saya senang sekaligus kuatir. Senang karena ketika terjebak pandemi Covid-19, saya jadi kangen nonton konser musik klasik atau opera. Kuatir karena saya hanya tidur 3 jam di malam sebelumnya, karena mengambil flight subuh dari Munich ke Wina. Padahal yang namanya opera ‘kan terkenal “bikin ngantuk”, apalagi jamnya 17.00-22.00 --jam rawan banget. Malu ‘kan kalau ada cowok ganteng berbaju batik terus ketahuan ngorok di tengah opera? Wkwkwk…
Baca juga: “Panduan Cerdas Eksplor Vienna”
Gedung Wiener Staatsoper alias Gedung Opera Wina dibuka tahun 1869 oleh Kaisar Franz Josef. Karena termasuk kebanggaan bangsa Austria, gedung ini terawat sangat baik. Interiornya cantik dengan marmer dan emas serta penerangan klasik yang menarik. Kemudian ruangan dalamnya, wow! Ojo dibanding-bandingke sama Taman Mini. Yo pasti kalah! Ruangan tinggi, dengan lampu raksasa di tengah, elegan dengan panggung besar di satu sisi. Persis di bawahnya ada ruangan untuk pemain musik, yang sudah mulai menyetem alat-alat mereka. Semua yang datang berbaju keren kinclong cantik dan ganteng. Ketika pertunjukan dimulai, saya mulai mengulum permen, supaya jangan ketiduran!
Tampak depan gedung operanya
Interior pintu masuk opera
Suasana bagian dalam gedung opera, ruangan tinggi, dengan lampu raksasa di tengah
Panggung opera, bagian bawahnya tempat untuk pemain musik
Penonton di tribun
Ternyata, apa yang tersaji di depan mata malah membuat saya tidak rela terpejam. Di tiap kursi ada layar kecil yang berisi informasi acara dan running text Bahasa Inggris, sehingga saya bisa mengerti apa yang dinyanyikan. Dimulai dari kisah bodoh Tamino yang diserang ular raksasa, mulailah Mozart dengan lincah bercerita, melalui melodi dan kata-kata. Tokoh sentralnya justru sebuah benda pasif: suling ajaib, dibuat dari kayu oak tua, di tengah badai dan petir, mempunyai kekuatan untuk menyenangkan hati siapa pun yang mendengarnya. Bahkan binatang buas pun menari gembira! Cerita berlanjut dengan hadirnya Papageno, tokoh lucu mirip punakawan versi Jerman yang mendampingi Tamino Sang Pangeran mencari Pamina, Sang Putri idaman!
Layar kecil dengan teks Bahasa Inggris
Jeniusnya Mozart, kisahnya masih relevan sampai sekarang meski ditulis lebih dari 200 tahun lalu. Beliau tidak menonjolkan satu karakter pahlawan serba-bisa, melainkan mendorong dua tokoh utama: Sang Pangeran Tamino yang jujur tapi naif, dan Sang Papageno yang liar dan semau gue. Tokoh antagonisnya pun tidak sederhana: Sang Ratu Malam ibunda Pamina kelihatannya baik ternyata jahat, sementara Sarastro, sang pendeta gelap Isis dan Osiris, justru ternyata berlaku bijaksana.
Baca juga: “13 Tempat Wisata Menarik di Vienna, yang No. 9 Vienna Banget!”
Mozart juga tak lupa menyelipkan kritik sosial, seperti hadirnya Monostatos yang “berkulit gelap”, komentar seperti “wanita hanya bisa bicara, masakan kau mempercayai ocehannya?”, yang langsung dikoreksi dengan petuah menjadi pria sejati: “Turutilah nasihat, jadilah teguh, toleran, dan rendah hati”. Melalui kostum, pemeran Opera Wina juga menyelipkan kritik sosial modern: bagaimana pasukan Monostatos yang dikerahkan untuk menangkap Tamino wujudnya adalah satu rombongan polisi berseragam! Ketika terpojok, Tamino memainkan suling ajaibnya, dan voila! Bapak-bapak yang terkesan garang tadi mendadak membuka jaket dan mengenakan rok ballet, lalu semuanya menari balet cantik sesuai irama sang suling ajaib. Duh, jadi ingat balada yang mirip di negeri sendiri!
Baca juga: “Warna-Warni Kuliner Austria”
Cara Mozart memadukan musik dengan cerita juga luar biasa. Lagu atau aria (reffrain) yang terkenal, ternyata bukan dari tokoh utama. Contohnya, “Murka Sang Ratu Malam” justru dinyanyikan oleh Sang Ratu, sementara duet Papagena-Papageno yang juga tersohor cuma muncul sebentar menjelang akhir. Ini berhasil memberikan efek kejutan, ketika melodi yang dikenal ternyata datang dari tokoh yang tak terduga. Jalinan cerita semakin seru sampai akhirnya cerita ditutup dengan happy ending: alunan magis suling Tamino berhasil membawanya bersama Pamina menuju kebahagiaan abadi, dan bahkan Papageno menemukan si cantik Papagena yang diajaknya hidup bersama. Akhirnya, tangan Sarastro-lah yang menghukum si jahat Monostatos dan Sang Ratu Malam. “Kesabaran telah memenangkan hari ini,” kata penutupnya, “bermahkotakan keindahan dan kebijaksanaan abadi.” Duh, terharu!
Baca juga: “Top 9 Hallstatt Attractions”
Pertunjukan diakhiri dengan tepuk tangan panjang para penonton ketika semua pemain naik ke panggung. Apresiasi sederhana, tidak pakai emoticon, tapi langsung terasa auranya! Ruangan riuh rendah, apalagi ketika Sang Ratu Malam muncul. Memang bagus sekali suaranya! Dan kami pun berjalan pulang dengan naik trem lagi. Hari menjelang tengah malam, tapi Kota Wina nampak semakin cantik. Sebuah pengalaman budaya yang mencerahkan. Terima kasih, Wina!
Semua pemain naik ke panggung dan para penonton memberi tepuk tangan panjang
Suasana Wina di malam hari
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.